Oleh Gola Gong
Ketika saya menulis ini, seseorang berdiri di belakang dan mengatakan saya bukan warga negara yang baik. Orang itu mengingatkan, pesta lima tahun sekali ini harus dirayakan dengan sumringah dan penuh cinta kasih. “Kita harus bersyukur, karena masih diberi umur panjang merasakan pesta rakyat limatahun sekali,� tambah orang itu yakin. “Belum tentu lima tahun berikutnya kita masih hidup!�
MERASA BENAR
Saya bingung. Pesta yang mana? Pesta lima tahun sekali itu? Siapa yang berpesta? Saya sebagai rakyat tidak merasakan pesta itu. Saya tidak pernah membuat kartu undangan dan meminta orang-orang untuk datang ke pesta saya. Apalagi dengan iming-iming kado atau door prize jika orang-orang datang ke pesta saya. Yang saya rasakan justru, mereka memaksa-maksa saya untuk datang ke pesta mereka.
Dan saya juga bingung, kenapa si teman itu mengatakan “saya bukan warna negara yang baik�. Dari mana ukurannya? Selama ini saya rajin membayar pajak. Jika belanja, saya tidak pernah protes harus membayar lebih untuk pajak. Jika jalan rusak saat mengendarai mobil, saya tidak protes, padahal setiap tahun saya membayar pajak kendaraan bermotor. Jika lampu penerangan listrik mati, saya tetap berfikiran positif sebagai bagian dari pengehematan energi listrik. Jika saya mengurus keperluan ke kantor pemerintah, saya tidak pernah marah atau kesal, karena tidak dilayani dengan maksimal. Tapi, kenapa teman saya itu mengatakan “saya bukan warga Negara yang baik?�
Teman saya itu dengan berapi-api membacakan judul “Jangan Nyoblos 9 April...� yang sedang saya tulis. Katanya, ‘Itu ‘kan sama saja dengan menghasut orang untuk jadi golput!� Saya lantas tertawa. Lho, apanya yang salah dengan judul itu? Dengan tegas sambil mengutip kitab sakti versi Tuhan dan manusia, teman saya itu mengingatkan saya akan panasnya api neraka. “Golput itu haram!� Wealah!
Saya menahan kesabaran. Teman saya itu sudah jadi orang yang merasa paling benar sendiri, tapi lupa berbuat benar. Seperti juga orang-orang yang yang membuat pesta dan mengundang saya agar datang ke pesta mereka. Si pembuat pesta itu menyebarkan undangan secara terbuka, dimana saja mereka mau. Bahkan tanpa merasa sungkan di tempat-tempat umum.
Mereka berdiri di depan saya dan tamu undangan lain, mengatakan dirinya paling benar, tapi lupa berbuat benar. Misalnya, mereka sudah merasa benar membuat pesta, menyebarkan undangan, tapi lupa membersihkan sampahnya, sehingga orang lain yang kerepotan. Seperti teman saya itu juga. Tanpa dipikirkan dulu, karena membaca yang tersurat saja, langsung mencap saya “sebagai bukan warga negara yang baik.�
Di jalanan juga bertebaran orang-orang yang meras benar, tapi lupa berbuat benar. Bahkan termasuk saya. Sekedar contoh, kita merasa benar sudah membeli tiket bus, duduk di kursi dan membiarkan orangtua berdiri. Kita merasa benar duduk, karena itu hak kita dengan kewajiban membeli tiket. Tapi sebenarnya kita lupa berbuat benar dengan memberikan hak kursi kita kepada orang tua. Atau kita memarkir mobil di pinggiran jalan, bukan di tengah jalan. Tapi kita lupa berbuat benar, karena di tempat itu ada rambu “S dicoret�. Kita sudah merasa benar
berhenti di perempatan jalan saat lampu merah, tapi posisi kita sebetulnya menghalangi laju orang-orang yang hendak langsung belok kiri.
RABUN BACA
Perihal teman saya itu, dengan sabar saya menjelaskan, agar kembali membaca judul tulisan saya di atas dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatny a. Teman saya itu termasuk “rabun baca�. Dia sudah melek aksara, tetap masih dikategorikan belum memasuki fase “melek baca�. Orang-orang seperti teman saya itu “rabun baca�. Sudah jelas tertera dilarang parkir dengan symbol “P coret�, masih tetap parkir juga. Sudah jelas “belok kiri boleh langsung�, masih juga dihalangi. Sudah terang di depan mata “perboden�, eh, masih saja nyelonong. Sudah secara gamblang, bahwa korupsi itu haram dan menyengsarakan umat, masih saja dilakukan. Sudah jelas buku itu “jendela dunia�, eh, para caleg lebih suka melakukan investasi suara dengan cara bagi-bagi sembako.
Dengan sombong saya menceritakan sebuah strategi yang saya lakukan kepada teman saya, yang ternyata tim sukses seorang caleg. Saya adalah seorang pengarang. Cara yang saya lakukan, agar orang-orang membaca novel saya bukan hanya dengan cara peluncuran buku atau bazaar buku, tapi juga mengajari mereka membaca ke-26 abjad.. Saya tidak begitu risau, setelah mereka bisa membaca apakah akan membeli buku saya atau tidak. Yang saya lakukan adalah menulis buku sambil mneingkatkan kualitas. Nanti pembeli akan datang sendiri. Tentu pembeli yang sudah bisa membaca. Tapi, teman saya tidak memahami tamsil saya ini. Dia tetap saja ngotot, bahwa saya berbelit-belit. Dia tetap pada pendirian semula, bahwa saya sudah menyebarkan fitnah ke khalayak.
Saya jelaskan, penulisan judul itu sebagai cara murah pembelajaran politik. Tanpa perlu menggerogoti biaya. APBD. Juga APBN. Bahkan CSR pun bisa disalurkan tepat ke sasaran. Ini cara hemat enerji dan listrik, tidak perlu menyewa hotel mewah dan memakai LCD segala. Lewat judul itu saya mengingatkan kepada warga Banten, agar tidak “mencoblos 9 April�. Bahaya. Nanti hak politik kita mubadzir. Saya justru sedang mengajak warga melek politik. “Jangan nyoblos 9 April, tapi nyontreng,� tegas saya persis di kuping dia.
Yuk, nyontreng. Yang dicontreng juga jangan “9 April�, tapi deretan gambar partai dan nomor caleg, yang sudah mengeluarkan uang puluhan juta, ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Begitchu, lho! Kira-kira begini maksud saya, “Jangan nyoblos 9 April, tapi nyontreng, yuk….! Masak, yang begitu dibilang golput! Tapi, ah, gitu aja, kok, repot…! (*)
Beasiswa Khusus Guru (Negeri dan Swasta) dari Jepang
-
Info dari Blog tetangga.
Halo semua,
Ada beasiswa khusus guru dari Pemerintah Jepang dengan ketentuan sbb.
PERSYARATAN
1. Lulusan S-1 atau D-4 dan gur...
15 years ago
Kang Ade, nuju mejeng sugan nya? Geuning asa anon keneh pisan??? Foto nu iraha etah? nuju jaman SMA nya???
ReplyDelete..he he ... mhun .. duhh eta padamelan temen temen Sos 95 .jadi Isin ... poto 14 tahun lalu ... abdi ge tos hilap .. geuning aya keneh tah poto ...he he punten ahh ..
ReplyDelete